Senin, 10 Desember 2012

NASIKH


A.    PENGERTIAN NASIKH

Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu penghilang (izalah), pengganti (tabdil),pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql).Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memin-dahkan disebut nasikh. Sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan di- pindahkan disebut mansukh.1
Secara termonologi, “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terputusnya subtansi hukum itu sendiri.2

Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup:
1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat spesifik yang dating kemudian.
3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang ambigius, dan
4.      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.3

B.   DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH dan MANSUKH

Manna’AL-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga dasar tersebut adalah:4

1.      Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadis yang berbunyi, kuntu nahaitukum ‘an ziyarat al-qubur ala fa zuruha (aku dulu melarang kalian untuk berziarah kubur), (sekarang) berziaralah.

______________________                                                    
1.        Quraish Shihab, membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 143, Jalaludin As-suyuti, Al-Itqan fi’Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid II, 20; Muhammad ‘Abd Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid II, hlm. 71.
2.        Az-zarqani, op.cit., hlm. 72.
3.        Shihab, op, cit., hlm. 144-147.
4.        Al-Qaththan, op. cit., hlm. 234.
2.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.      Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.

C.    BENTUK  dan  JENIS  NASIKH  dalam  AL-QURAN

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1.      Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Contoh ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal (8): ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:

Artinya:
Hai Nabi, kabarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak meng- erti.”
(Q.S. Al-Anfal (8): 65)
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya:
Sekarang Allah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antara kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”
(Q.S. Al-Anfal (8): 66)
2.      Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati dalam ayat berikut ini:
Artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib- kerabatnya secara makruf.”
(Q.s. Al-Baqarah (2): 180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis Ia washiyyah li warits (tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3.      Nasikh Kully, Yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contoh, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) ayat 2345) dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 2406) dalam surat yang sama.
_______________________                                       
5.      Bunyi ayatnya


Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
(Q.S. Al-Baqarah (2): 234)
6.      Bunyi ayatnya

Artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya akan tetapi, jika mereka pindah sendiri maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.
(Q.S. Al-Baqarah (2): 240)


4. Nasikh Juz’iy, yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 47) dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 68) dalam surat yang sama.
______________________                                     
7.      Bunyi ayatnya


Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah  mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
8.      Bunyi ayatnya

Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orsng itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
(Q.S. An-Nur (24): 6)
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam, yaitu:9

1.      Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan.
Misalnya dalam sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadis Asiyah r.a yang mengatakan bahwa dianggap saudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di nasikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termakub di dalam mushaf karena baik bacaannya maupan hukumnya telah di nasikh.
2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Misalnya ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat islam  untuk saling bergantian dalam beribadah, telah di hapus oleh ketentuan  ayat qital (peperangan).
3.      Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Misalnya di ambil dari ayat rajam,ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya sementara hukumnya tetap berlaku seperti pada cerita tentang ayat yg orang tua berzina.

Adapun sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:10

1.      Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran.
Nasikh seperti ini para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.      Nasikh Al-Quran dengan As-Sunah.
Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenakan bila sunah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashyur. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku apabila sunah yang menghapus nya berupa sunah ahad. Bila kedua jenis sunah di atas berstatus qhath’I tsubut, sebagaimana Al-Quran, maka hal itu berbeda dengan sunah ahad yang bersifat zhanny tsubut.
Sedangkan menurut Asy-Syafi’I “sunah tidak sederajat dengan Al-Quran.” Padahal nasikh yang dijanjikan tuhan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya atau bahkan lebih tinggi.
3.      Nasikh As-Sunah dengan Al-Quran.
Menurut mayoritas ahli ushul, nasikh  semacam ini benar-benar terjadi. Contoh penghapusan kiblat shalat ke Bait Al-Muqaddas menjadi ke Ka’bah.
4.      Nasikh As-Sunah dengan As-Sunah.
Bagi Al-Qaththan pada dasarnya ketentuan nasikh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenakan.
D.    RUKUN DAN SYARAT NASIKH

-          Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang di hapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amalia tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
-          Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus).
-          Adanya nasikh (yang berhak menghapus).
-          Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang di hapus itu ialah orang-orang yang sudah akil-baligh/mukallaf).11

E.     HIKMAH KEBERADAAN NASIKH

Menurut Manna’Al-Qaththan, ada empat hikmah keberadaan ketentuan nasikh,yaitu:12

1.      Menjaga kemaslahatan hamba.
2.      Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat
 kesempurnaan, seiring perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.











_____________________                           
9.        As-Syuthi, op. cit, jilid II, hlm. 22; As-Shabuni, op. cit, hlm. 03; Al-Qaththan, op. cit. hlm 238-239.
10.     Al-Qaththan, op cit hlm. 236-237.
11.     Muhhamad bakar ismail, Dirasat fi’ulum al-quran (kairo, Dar al-manar, 1991). h.283-284.
12.     Al-Qaththan, op cit, hlm. 240.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Usman, M.Ag. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Drs. Anwar Rosihon, M.Ag.2000. Ulumul Qur’an.Bandung: Cv Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar