Senin, 10 Desember 2012

IBNU THUFAIL



PENDAHULUAN

Ibn Thufail yang merupakan seorang filsuf berkebangsaan Qaisyi, semasa mudanya banyak belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan karena kecintaannya terhadap buku-buku menghantarkan ia menjadi ilmuan dan filsuf terkemuka saat itu. Ia berhasil menserasikan sains Yunani (filsafat) dengan agama. Adapun perpaduan antara filsafat dan agama ini tergambar pada karyanya yang terkenal, Hayy Ibn Yaqzhan.
Hayy Ibn Yaqzhan, merupakan intisari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail yang telah di terjemahkan ke dalam beberapa bahasa dalam mukadimahnya Ibn Thufail berusaha menjelaskan tujuan penulisan buku itu, yaitu untuk menyaksikan kebenaran (al-Haq) menurut cara yang ditempuh oleh para ahli tasawuf yang telah mencapai tingkat kewalian.
Adapun mengenai tujuan risalah, terdapat kesepakatan sejumlah ahli bahwa tujuan risalah Hayy Ibn Yaqzhan tersebut adalah menunjukan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran, dan kebenaran tersebut tidaklah bertentangan dengan agama.











RUMUSAN MASALAH

1.      Siapa dan Bagaimana Ibn Thufail?
2.      Apa sajakah karya- karyanya Ibn Thufail?
3.      Bagaimana filsafatnya yang dikembangkan oleh Ibn Thufail?


















PEMBAHASAN
1.      Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Qaisyi. Di Barat dikenal dengan Abubacer. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada tahun 506 H (1110 M), dan meninggal di kota Marraqesh, Marokko tahun 581 H (1185 M).  Karena kecintaannya terhadap buku-buku dan ilmu pengetahuan, mengantarkannya menjadi seorang ilmuwan dalam banyak bidang, seperti: kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan filsafat dipelajari di Seville dan Gordova.
Profesi kedokteran dan keuletannya bekerja menjadikan ia dipercaya menjadi sekretaris gubernur Granada, kemudian sekretaris gubernur Ceuta pada tahun 549 H (1154 M), dan akhirnya sebagai dokter pribadi Abu Yusuf  Ya’qub al-Mansyur, Khalifah Daulah Mawahiddin (1163-1184 M), merangkap sebagai wazirnya.
Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains Yunani dengan Hikmah Timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (hidup anak sisadar).
Ibn Thufail mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan filsafat di Dunia Islam Barat, karena posisinya sebagai penjelas dan pelanjut Ibn Bajjah dan perambah jalan untuk Ibn Rusyd.







2.     Karyanya

      Sebenarnya Ibnu Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalau hasil karyanya sedikit. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis sejumlah buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan, dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, yaitu Hayy Ibn Yaqzhan, yang merupakan inti sari pemikiran- pemikiran Ibn Thufail. Suatu manuskrip diperpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmah al- Masyriqiyyah (rahasia- rahasia filsafat Timur) hanyalah sebagai ringkasan dari buku Hayy tersebut. Nama lengkap buku itu adalah Risalah Hayy Ibn Yaqzhan fi Asrar al- Hikmah al- Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainnya diperkirakan hilang disaat terjadi kekacauan dan peperangan di Magribi.
       Tetapi, menurut Ibn Khathib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya Ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al – Bithruji berjudul Kitab al- Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al- Baqa’ al- Maskunah wa al- Ghair al- Maskunah.
















3.       Filsafatnya
a. Filsafat dan Agama
Menurut Ibn Thufail, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari   hakikat yang satu. Ia menganggap bahwa tidak semua orang dapat sampai kepada wajib al-wujud dengan jalan berfilsafat, dan tidak mungkin mereka mengetahui al-Haq karena keterbatasan akal mereka. Dalam hal ini dibutuhkan penolong, yakni dengan adanya nubuwwah yang berfungsi menjelaskan sesuai dengan kadar akal manusia. Dengan demikian, benarlah jika al-Qur’an turun dengan berbagai variasi ayat, karena mukallafnya heterogen dari segi kemampuan dan lainnya.
Lewat karyanya, Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Thufail berhasil memaparkan bahwa akal dapat mengetahui kebenaran tertinggi, Allah, sama yang digambarkan wahyu. Namun demikian, wahyu tetap dibutuhkan. Menurut Harun Nasution, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara yang tepat untuk menyatakan terima kasih tersebut. Dalam hal ini, peran wahyu selain memberikan bimbingan kepada akal, juga sebagai petunjuk tentang cara-cara beribadah kepada-Nya, seperti shalat, puasa, zakat, haji ke Baitullah, dan lain-lain.











b.    Metafisika

           Dalam romannya, Ibn Thufail bahwa pengalaman hidup dan keseriusan menggunakan akal untuk mengamati keadaan yang mengitari, akal merupakan jalan yang mengantar seseorang mengetahui Tuhan. Bagi Thufail dalil adanya Alloh adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa penggerak yang berada di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakan. Penggerak itu dalah Alloh. Tentang zat dan sifat Alloh, Ibn Thufail lebih cenderung mengikuti pendapat Mu’tazilah. Alloh adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya,serta Maha Bebas dalam segala kehendakan-Nya. Alloh adalah pemberi wujud kepada semua makhluk. Tetapi, Ia tidak mungkin dirasai dan dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin mengenai hal- hal inderawi.
       Ibn Thufail membagi sifat Alloh kepada dua macam, yaitu sifat yang menentukan wujud zat Alloh. Sifat- sifat ini adalah zat-Nya sendiri. Sifat- sifat yang menafikan hal kebendaan dari zat Alloh, sehingga Alloh Maha Suci dari kaitan dengan kebendaan. Ibn Thufail berpendapat bahwa Alloh menciptakan segala sesuatu karena ada guna dan manfaatnya. Alloh juga mengetahui segala sesuatu yang dilangit dan dibumi, dan tidak satupun yang luput dari ilmu-Nya yang Maha luas.
       Menurut Ibn Thufail alam dan Tuhan sama- sama kekal. Alam bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari esensi Tuhan. Karena itu, alam tidak akan hancur ( dalam arti lenyap) pada Hari Penentuan sebagaimana dipercayai kebanyakan umat. Kehancuran alam berupa keberalihannya menjadi bentuk lain, dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Hal itu dimungkinkan karena sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan penampakan diri yang kekal.









c.    Epistimologi
        Menurut Ibn Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama ialah melalui wahyu, dan jalan kedua adalah filsafat. Digambarkan bahwa ma’rifah melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi, dan menyimpulkan. Jadi, ma’rifah merupakan sesuatu yang dilatih mulai dari yang konkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dari yang khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus- menerus. Karena sifatnya yang demikian, maka ma’rifah jenis ini sesuatu yang dilatih, berkembang, bertingkat, dan beragam.[1] Karena pembentukan pengalaman dimulai lewat tanggapan alat indera. Ibn Thufail juga menjelaskan proses fisisnya. Ada yang ditanggap oleh indera disampaikan ke otak lewat jalur syaraf, kemudian otak mengolahnya dan mengembalikannya keseluruh tubuh lewat jalur yang sama sebagai suatu persepsi. Ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan.[2] Jadi proses yang di lalui ma’rifah semacam ini tidak mengikuti deduksi/ induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.

















d.   Jiwa
Konsepsi Ibn Thufail tentang  jiwa sejaan dengan yang dikemukakan al-Farabi, yakni ada tiga kategori:
1.)    Jiwa Fadhilah
Yakni jiwa yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus menerus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa ini akan ditempatkan di surga.
2.)    Jiwa Fasiqah
Yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka.
3.)    Jiwa Jahiliyyah
Yakni jiwa yang musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali.

Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterpkan dalam hidup, yaitu:
1.)    Amaliah yang menyerupai hewan.
2.)    Amaliah yang menyerupai benda angkasa.
3.)    Amaliah yang menyerupai al-wajib al-wujud.
Kadar penerapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan al-wajib al-wujud. Ibn Thufail mengajarkan agar jiwa berhubungan (ittishal) atau secara terus menerus seak dari kehidupan di dunia sampai kehidupan abadi. Manusia dapat berhubungan dan menyaksikan Tuhannya tidak hanya dengan akalnya, tetapi juga melalui rohaninya.



                                  








PENUTUP


        Nama lengkap adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al- Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al- Qaisyi. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada 506 H dan meninggal di kota Marraqesh,Marokko pada 581 H. Sebagai seorang keturunan Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi kecintaannya dengan buku- buku dan ilmu pengetahuan. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang seperti kedokteran, kesastraan, matematika, dan, filsafat.
       Beliau berfilsafat antara lain:
1.      Menurut Ibnu Thufail filsafat dan agama adalah selaras.
2.      Menurut Ibnu Thufail alam dan Tuhan sama- sama kekal.
3.      Menurut Ibnu Thufail untuk sampai kepada ma’rifah ada dua jalan yaitu wahyu dan filsafat.
4.      Menurut Ibnu Thufail tentang jiwa yakni ada 3 kategori jiwa yaitu
-          Jiwa Fadhilah
-          Jiwa Fasiqah
-          Jiwa Jahiliyah














DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Supriyadi, Dedi. 2008. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
































[1] Sa’ad,(ed), hlm 59-60
[2] Qumairi,Ibnu Thufail, hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar