BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Pada
kesempatan kali ini, saya memberi judul “Psikologi Mengaji” yang mungkin belum
begitu lazim di dunia psikologi. Meski mungkin ada yang memperdebatkan atau
mempermasalahkan, itu hanya sekedar nama, yang penting adalah aplikasi di
dalamnya.
Dalam
materi ini, pembahasannya nanti bukan hanya sekedar teori namun juga berdasarkan
praktek bahkan melalui proses penelitian. Ini karena dorongan dari beberapa
pengamatan dan cerita dari banyak majelis pengajian. Mulai dari, kalau ngaji
masih ada yang ngantukan, telatan (terlambat),
yang mengajar penyampainnya mbules,
mboseni (membosankan) dan sejenisnya. Sehingga kemudian saya tertantang,
bagaimana persepsi orang bahwa mengaji itu yang tadinya ngantukan jadi bersemangat, yang telatan jadi rajin, pengajar
yang penyampaiannya mbules bisa
menjadi mantap, yang mboseni bisa menyenangkan.
Pertanyaan
saya kepada Anda untuk mendukung dan mempraktekkan materi ini mulai dari
sekarang dan seterusnya antara lain:
Pernahkah
Anda berfikir, mengapa jika menonton TV walaupun lama terasa sebentar, namun
ketika mengikuti pengajian walaupun sebentar terasa lama?
Mengapa
ketika kita menonton bola (khususnya bagi penghobi bola) meskipun sudah larut
malam, 90 menit bahkan lebih bisa tetap fit mengikuti, namun ketika mengaji
baru 15 menit sudah ngantuk bahkan tidur?
Mengapa
jika menonton sinetron bisa menghayati, tapi ketika mengikuti materi pengajian
susah menghayati?
Saya
tidak tahu seberapa banyak orang yang pernah memikirkannya dan kemudian mencari
solusi agar bisa mengikuti pengajian dengan baik, memperhatikan, semangat dan
berusaha untuk menghayatinya. Sekarang saya ganti bertanya kepada para
pengajar/pemateri:
Jika
saat Anda mengajar kemudian pendengarnya mengantuk, melamun, ngobrol sendiri,
siapa yang pertama kali Anda koreksi?
Saya
tidak tahu juga seberapa banyak mengoreksi pendengarnya alias menyalahkannya,
atau ada juga yang mengoreksi diri sendiri dulu, dia berinstrokpeksi, apa yang
kurang dari dirinya sehingga penerimaan materi kurang direspon oleh para
pendengarnya.
Oke,
sekarang kita tidak usah menyalahkan siapa-siapa, mulai sekarang dan seterusnya
di saat kita menjadi pengajar (guru) bisa memberikan penyampaian yang mantap,
menarik dan mudah dipahami. Sedangkan di saat kita menjadi pendengar kita bisa
usaha menata diri, usaha untuk semangat dan usaha untuk memahaminya.
B.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana
peran dari seorang guru dalam mendidik anak?
2. Bagaimana
peran orang tua dalam hal mendidik anak?
3. Pentingnya
sinergi antara guru dan orang tua dalam mendidik anak.
C.
Penegasan Istilah
·
Sinergi, sinergisme: bentuk kerjasama
antara suatu pihak tertentu dengan pihak yang lainnya.
·
Guru: pendidik yang disiapkan oleh
lembaga pendidikan tertentu yang diberi tugas untuk mendidik orang lain, dalam
hal ini yang dimaksud adalah anak.
·
Orang tua merupakan bagian kecil dari
sebuah keluarga tetapi memiliki tugas mutlak dalam mendidik anaknya.
·
Mendidik adalah usaha atau serangkaian
proses yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak/peserta didik dalam
pembentukan perilaku menuju ke arah kedewasaan.
·
Anak:
manusia pada usia tertentu yang membutuhkan arahan, dukungan, dan bimbingan
dari para pendidiknya untuk membekalinya menuju kea arah kedewasaan.
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian
yang saya lakukan ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peran dari seorang
guru dan orang tua beserta pentingnya sinergi atau kerjasama antara guru dan
orang tua dalam hal mendidik anak.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Peran Guru
Guru
mempunyai peranan penting dalam mendidik anak. Peran tersebut diantaranya
adalah sebagai pendidik, penasehat, dan model/keteladanan bagi anak didiknya,
sehingga diharapkan dapat mencetak generasi penerus bangsa yang dapat
merealisasikan setiap materi yang sudah diajarkan oleh pendidiknya.
1.
Guru sebagai Pendidik
Menurut Ahmad
Tafsir (2007:78), tugas guru adalah mendidik yang dilakukan dalam bentuk
mengajar, memberi dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan
lain-lain.
2.
Guru sebagai Penasehat
Menurut
A. Qodri A. Azizy (2003:166), guru harus bersikap sabar dalam menghadapi
berbagai macam karakteristik anak didiknya. Guru harus berani memberikan
nasehat dan arahan secara terus-menerus terhadap anak didiknya agar tidak
terjadi dekadensi moral.
3.
Guru sebagai Model/Keteladanan
Mohammad Asrori
(2007:25), menyatakan bahwa guru berperan sebagai model atau figure yang hendaknya dapat membiasakan
akhlakul-karimah agar dapat dicontoh dan direalisasikan oleh siswa dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Peran Orang Tua
Berkaitan
dengan peran dan tanggungjawab orang tua, H.M Arifin (1998:5) mengemukakan 2
(dua) tugas pokok orang tua, yaitu:
1.
Orang Tua sebagai Pendidik
Untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik, orang tua dituntut
agar mampu untuk:
a.
Mengasuh dan membimbing anaknya
b.
Mengawasi dan memperhatikan pendidikan anaknya
c.
Mengemudikan pergaulan anaknya
d.
Memberikan qudwah (keteladanan) yang nyata.
2.
Orang Tua sebagai Pemelihara dan
Pelindung Keluarga
Orang tua di
samping mempunyai tugas sebagai pendidik, ia juga harus memelihara keselamatan
kehidupan keluarganya, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, alangkah
idealnya bila orang tua mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya, antara lain
papan, sandang, dan sebagainya (H.M. Arifin, 1998:5).
BAB III
ANALISIS DATA DAN
PEMBAHASAN
Sebelum
masuk pada pembahasan, ada ilustrasi yang terkait dengan judul penelitian ini,
mari kita simak:
Dulu
ada seorang anak perempuan seusia 12 tahun, yang memiliki 3 orang adik. Ketika
orangtuanya berangkat haji, anak ini dengan tlaten selalu menjaga adik-adiknya,
menyiapkan pakaian sekolah adik-adiknya, sambil ikut membantu neneknya
menyiapkan sarapan. Ketika sore dia telaten mengajak adik-adiknya untuk mengaji
kemudian bermain bersama. Para tetangga yang melihatnya pun merasa kagum dengan
anak ini.
Suatu
saat anak perempuan ini jatuh sakit sehingga harus opname di rumah sakit.
Banyak tetangga, teman, sahabat dan saudara yang menjenguknya. Setiap kali ada
yang menjenguknya, dengan menggunakan kata-kata yang tertatih tatih dan kadang
dengan isyarat, anak perempuan ini selalu minta dibacakan Al-Qur’an. Hal ini
membuat dokter dan para perawat marasa takjub. Akhirnya berita ini menyebar
luas, semakin banyak yang menjenguk, dan anak ini semakin senang, dia terus saja
minta dibacakan Al-Qur’an. Subhanallah, Allah SWT ternyata puya rencana indah
untuk anak ini. Dia meninggal dengan mudah, disaksikan oleh keluarganya, di
wajahnya terpancar senyum terlebih di akhir hayatnya yang didengar adalah
lantunan bacaan Al-Qur’an.
Ketika
melayat banyak yang bertanya, bagaimana anak ini memiliki akhlakul-karimah yang
luar biasa. Ternyata jawabannya, karena sejak kecil orangtuanya sudah
menanamkan budi pekerti yang baik, rasa saling mencintai, tolong menolong dan
menghormati gurunya. Sedangkan yang mengajarkan dia senang menbaca Al-Qur’an
adalah gurunya yang selalu mengingatkan, membimbing, mengajarkan kecintaan pada
Al-Qur’an dan gurunya juga berpesan hormatilah orangtuamu.
Para
pembaca dan pendengar semuanya, ilustrasi di atas menggambarkan betapa
pentingnya sinergi antara orang tua dan guru dalam mendidik anak.
A.
Peran Guru dalam Mendidik Anak
Berdasarkan
penelitian yang saya lakukan pada sebagian pengajar dan orang tua/wali murid
TPQ Al-Barokah, Kelurahan Arcawinangun RT 01/09 Kecamatan Purwokerto Timur,
dapat saya simpulkan bahwa peran dari seorang guru dalam mendidik anak antara
lain:
1.
Menanamkan Kepribadian yang Baik dan Menjadi
Teladan bagi Murid
Seorang guru
haruslah memilki kepribadian yang luhur dan mulia agar dapat menjadi teladan
bagi muridnya. Guru adalah pihak kedua setelah orang tua dan keluarga yang
paling banyak berinteraksi dengan murid. Guru sangat berpengaruh dalam
perkembangan seorang murid. Terlebih sebagai makhluk sosial seorang murid
memiliki kecenderungan untuk mencontoh.
Oleh
karena itu, seorang guru tidak boleh menjatuhkan kehormatan pribadinya di depan
murd dengan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kriteria seorang guru.
Perilaku guru dalam mengajar akan mempengaruhi motivasi balajar pada murid. Dalam
mendidik murid, seorang guru tidak boleh hanya sebatas kata-kata, melainkan
harus diaplikasikan dalam bentuk perilaku, tindakan dan contoh-contoh yang
baik. Karena sejatinya perilaku itu lebih mudah dan lebih banyak dicontoh
daripada hanya sekedar kata-kata.
2.
Mendidik Sesuai dengan Keunikan dan
Karakter Murid
Dalam mendidik
murid, guru harus jeli memperhatikan keunikan dan karakter murid-nya yang tentu
berbeda-beda. Dengan cara mengenali keunikan dan karakter masing-masing murid,
guru dapat memperlakukan anak didiknya dengan lebih tepat. Adapun beberapa
keunikan (perbedaan) yang dimiliki murid antara lain:
a.
Perbedaan fisik
Antara murid
yang satu dengan yang lain tentu punya perbedaan dalam hal fisik. Yang harus
diperhatikan disini adalah guru dilarang menggunakan fisik sebagai bahan
bercanda, terlebih olok-olokan! Termasuk jika ada murid yang mengolok-olok atau
memanggil nama temannya yang menyangkut fisik, guru harus menegur.
Termasuk dalam
memahami perbedaan fisik, hendaknya guru tidak pilih kasih dalam menerapkan
pelajaran hanya kepada yang memiliki fisik lebih sempurna, misalnya guru
laki-laki cenderung lebih senang memperhatikan murid perempuan, begitu pula
sebaliknya. Guru harus berlaku adil pada seluruh muridnya, terlebih bagi murid
yang memiliki keterbatasan fisik, tentu perhatian dari seorang guru sangat
dibutuhkan.
b.
Perbedaan kecerdasan
Kemampuan
menyesuaikan penyampaian dengan tingkat kecerdasan murid adalah salah satu
kemampuan yang harus dimiliki guru. Kemampuan ini sangat diperlukan karena akal
dan tingkat kecerdasan murid berbeda-beda. Guru hendaknya tidak mudah memberikan
label negatif pada murid yang belum paham mengenai materi yang disampaikan.
Terlebih mengeluarkan kata, “Kamu bodoh, seperti ini saja tidak bisa.” Termasuk
menyangkut nama orang tuanya, seperti, “Masak anaknya pak kyai begini saja
tidak bisa.” Karena bisa jadi anak yang belum paham terhadap materi yang
disampaikan bukan karena kecerdasannya yang kurang, tetapi mungkin karena
gurunya sendiri yang belum bisa memberikan penyampaian yang baik.
Guru jangan
cepat putus asa dengan kondisi murid yang memiliki kekurangan. Harusnya hal
seperti itu dijadikan sebagai tantangan untuk mencari formula, cara terbaik
agar murid yang memiliki kekurangan bisa semakin paham. Guru harus tetap
optimis, khusnudzan billah, jangan
belum apa-apa sudah mundur dari medan laga, dengan mengatakan, “Ah, bagaimana
bisa pintar, kalau model anaknya saja seperti ini.” Guru yang hebat itu bukan
guru yang mengajar murid yang sudah pintar, melainkan guru yang bisa mengajar
murid yang belum tahu menjadi tahu, yang sudah tahu semakin tahu, dan bisa
diamalkan oleh murid-muridnya.
c.
Perbedaan karakter
Secara umum,
karakter yang biasa dimiliki seorang anak antara lain aktif, pemalas, semangat,
mudah tersinggung, pemberani, penakut, periang, pendiam, suka berinteraksi,
dll. Guru harus pandai-pandai menganalisis karakter anak didknya. Tentu saja
beda karakter beda penanganannya.
3.
Menciptakan Suasana Belajar yang Nyaman
Agar
murid selalu tertarik untuk mendatangi majelis pengajian, guru hendaknya selalu
menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi murid-muridnya. Nyaman disini
tidak harus mewah, tetapi bisa kondusif dan menyenangkan. Para guru harus
kreatif memanfaatkan waktu, media dan ruang yang ada. Misalnya, saat mengajar
anak-anak menggunakan media-media seperti gambar, warna, games (tanya jawab), dan cerita. Saat mengajar remaja bisa menggunakan
area terbuka/selain masjid untuk mengaji, seperti di taman, halaman, dan yang
lainnya.
B.
Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak
Berdasarkan
penelitian yang saya lakukan pada sebagian pengajar dan orang tua/wali murid
TPQ Al-Barokah, Kelurahan Arcawinangun RT 01/09 Kecamatan Purwokerto Timur,
dapat saya simpulkan bahwa peran dari orang tua dalam mendidik anak antara
lain:
1.
Mengutamakan Pendidikan Agama
Ayah-bunda yang
saya muliakan, utamakanlah pendidikan agama untuk anak-anak kita. Namun, bukan
berarti mengesampingkan ilmu dunia. Jangan sampai anak-anak kita pandai dalam
ilmu duniawi tetapi lemah dalam ilmu akhirat.
Adapun dalam
mengutamakan pendidikan agama, yang harus dilakukan orang tua kepada anaknya,
antara lain:
a.
Memantapkan akidah (keimanannya)
Iman kepada
Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman
kepada rasul Allah, iman kepada hari akhir, iman kepada qodar baik maupun buruk
semua dari Allah, adalah merupakan akidah yang benar sebagai modal dasar bagi
anak dalam mengarungi kehidupannya. Dengan akidah yan kuat, ketahanan keimanan
anak juga akan kuat. Sejak kecil orang tua sudah harus mengenalkan dan
menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, Rasulullah, senang dengan kisah-kisah
teladan para nabi, sahabat nabi dan ulama’ shalih, serta senang mendatangi
majelis ilmu. Orang tua ibarat arsitek yang seharusnya memiliki rencana dan
strategi ke depan anaknya mau dijadikan seperti apa.
Tentu semua
orang tua memnginginkan anaknya jadi anak yang sukses, bahagia dunia-akhirat.
Mayoritas orang tua menganggap hal terpenting saat ini adalah memikirkan masa
depan anak. Anak harus jadi dokter, polisi, pejabat, dan profesi lainnya. Anak
ini tidak salah, hanya saja seandainya orang tua tahu, dengan dibekali akidah
sejak kecil, saat dewasa nanti bukan hanya jadi dokter, melainkan juga jadi
dokter yang alim dan berjiwa penyayang; bukan hanya jadi sekedar polisi,
melainkan juga jadi polisi yang alim dan berakhlak mulia; bukan hanya jadi
pejabat, tetapi juga jadi pejabat yang alim, jujur, dan amanah. Otomatis jika
anak sudah ditanamkan akidah sejak kecil, sebagai anak yang shalih dan shalihah
akan membalas budi baik dan membahagiakan orang tuanya di dunia sampai akhirat.
b.
Memperbaiki akhlaknya
Orang tua adalah
public figure terhadap anak-anaknya.
Akhlak anak bergantung bagaimana orang tua menyiapkan dan menanamkannya. Jangan
sampai orang tua hanya menyalahkan lingkungan. Memang lingkunga sangat mempengaruhi
anak, terutama saat remaja, hanya saja jika sejak kecilku anak sudah berada di
bawah pengawasan dan mendapat bimbingan dari orang tua, maka saat remaja anak
akan lebih mudah diarahkan.
c.
Merajinkan ibadahnya
Setelah akidah
dan akhlak anak kuat, orang tua selanjutnya menekankan pada aspek ibadah.
Terlebih dalam hal ini yang harus diperhatikan oleh orang tua adalah shalat.
Sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an ketika Luqman menasehati anaknya
tentang shalat:
¢Óo_ç6»tƒ
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
öãBù&ur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
tm÷R$#ur
Ç`tã
Ìs3ZßJø9$#
÷ŽÉ9ô¹$#ur
4’n?tã
!$tB
y7t/$|¹r&
( ¨bÎ)
y7Ï9ºsŒ
ô`ÏB
ÇP÷“tã
Í‘qãBW{$#
ÇÊÐÈ
Artinya:
“Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk tetapnya perkara.”
(QS.
Luqman: 17)
2.
Tidak Membiarkan Anak Berkembang
Sendirian
Ayah-bunda yang
saya banggakan, menurut penelitian saya saat ini ada orang tua yang salah dalam
mempraktekan ilmu psikologi, dimana banyak buku, banyak pembicara yang
mengatakan “biarkan anak kita memilih jalan hidupnya sendiri.” Kalau anak-anak
bisa memilih jalan hidupnya sendiri apa bedanya kita dengan binatang? Justru
anak manusia diberikan Allah SWT kepada kita, untuk dibimbing dan diarahkan.
Tidak semua apa
yang dijelaskan dalam ilmu psikologi selalu tepat. Terlebih kita sebagai umat
Islam harus pandai menyaring, mana yang bisa kita pergunakan. Orang tua punya
kewajiban dalam mendampingi dan mengarahkan anak-anaknya, karena kelak kita
sebagai orang tua akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
3.
Membiayai Pendidikan
Anak adalah aset
bagi orang tua, anak adalah investasi berharga bagi orang tua. Oleh karena itu,
agar anak-anak kita bisa berhasil dunia-akhiratnya dibutuhkan dukungan biaya.
Pembiayaan pendidikan disini bukan hanya serta merta pendidikan dunia saja
(sekolah), melainkan dukungan biaya dalam pendidikan agama harus lebih
diperhatikan.
4.
Meluangkan Waktu
Orang tua harus
bisa meluangkan waktunya untuk anak dan keluarganya. Apalah artinya bekerja
dari pagi sampai menjelang malam, jika pada akhirnya waktu berkumpul bersama
anak dan keluarga tidak ada. Meluangkan waktu disini tidak harus sehari penuh,
1 jam asalkan bemanfaat dan berkualitas itu lebih baik daripada berjam-jam
tetapi tidak bermanfaat.
5.
Membangun Komunikasi dengan Guru
Sebagai orang
tua hendaknya terbuka kepada guru dengan kondisi anaknya, agar guru dapat
memperlakukan anak sesuai dengan kondisinya. Begitu pula orang tua hendaknya
berterima kasih terhadap informasi yang diberikan guru tentang anaknya. Apabila
guru melaporkan perkembangan yang kurang baik, orang tua hendaknya tidak merasa
dijatuhkan, dijelek-jelekan, justru malah disyukuri terlebih dahulu berarti
masih ada kesempatan untuk membina dan merubah anaknya menjadi lebih baik.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam hal
membina dan mendidik anak, tidak hanya tanggung jawab guru, melainkan menjadi
tanggung jawab orang tua. Oleh karena itu dibutuhkan sinergi, kerjasama antara
orang tua dan guru dalam mendidik anak. Guru harus terus berupaya, belajar
memberikan pemahaman yang terbaik dan jadi teladan bagi muridnya. Orang tua
juga harus terus berkarya, memberikan contoh, meluangkan waktu dan pikirannya,
tenaga dan hartanya untuk mensukseskan pendidikan anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar