PENDAHULUAN
Ibn Thufail yang merupakan seorang filsuf berkebangsaan Qaisyi,
semasa mudanya banyak belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan karena
kecintaannya terhadap buku-buku menghantarkan ia menjadi ilmuan dan filsuf
terkemuka saat itu. Ia berhasil menserasikan sains Yunani (filsafat) dengan
agama. Adapun perpaduan antara filsafat dan agama ini tergambar pada karyanya
yang terkenal, Hayy Ibn Yaqzhan.
Hayy Ibn Yaqzhan,
merupakan intisari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail yang telah di terjemahkan ke
dalam beberapa bahasa dalam mukadimahnya Ibn Thufail berusaha menjelaskan
tujuan penulisan buku itu, yaitu untuk menyaksikan kebenaran (al-Haq)
menurut cara yang ditempuh oleh para ahli tasawuf yang telah mencapai tingkat
kewalian.
Adapun mengenai tujuan risalah, terdapat kesepakatan sejumlah ahli
bahwa tujuan risalah Hayy Ibn Yaqzhan tersebut adalah menunjukan bahwa
akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran, dan kebenaran tersebut
tidaklah bertentangan dengan agama.
RUMUSAN MASALAH
1.
Siapa
dan Bagaimana Ibn Thufail?
2.
Apa
sajakah karya- karyanya Ibn Thufail?
3.
Bagaimana
filsafatnya yang dikembangkan oleh Ibn Thufail?
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Qaisyi. Di Barat dikenal dengan Abubacer.
Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada tahun 506 H (1110
M), dan meninggal di kota Marraqesh, Marokko tahun 581 H (1185 M). Karena kecintaannya terhadap buku-buku dan
ilmu pengetahuan, mengantarkannya menjadi seorang ilmuwan dalam banyak bidang,
seperti: kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan
filsafat dipelajari di Seville dan Gordova.
Profesi kedokteran dan keuletannya bekerja menjadikan ia dipercaya
menjadi sekretaris gubernur Granada, kemudian sekretaris gubernur Ceuta pada
tahun 549 H (1154 M), dan akhirnya sebagai dokter pribadi Abu Yusuf Ya’qub al-Mansyur, Khalifah Daulah Mawahiddin
(1163-1184 M), merangkap sebagai wazirnya.
Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains
Yunani dengan Hikmah Timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit
perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (hidup anak
sisadar).
Ibn Thufail mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan filsafat
di Dunia Islam Barat, karena posisinya sebagai penjelas dan pelanjut Ibn Bajjah
dan perambah jalan untuk Ibn Rusyd.
2.
Karyanya
Sebenarnya Ibnu Thufail lebih menggemari merenung daripada
kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalau hasil karyanya
sedikit. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis
sejumlah buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan, dan kedokteran.
Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, yaitu Hayy Ibn
Yaqzhan, yang merupakan inti sari pemikiran- pemikiran Ibn Thufail. Suatu
manuskrip diperpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmah al-
Masyriqiyyah (rahasia- rahasia filsafat Timur) hanyalah sebagai ringkasan
dari buku Hayy tersebut. Nama lengkap buku itu adalah Risalah Hayy Ibn
Yaqzhan fi Asrar al- Hikmah al- Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainnya
diperkirakan hilang disaat terjadi kekacauan dan peperangan di Magribi.
Tetapi, menurut Ibn
Khathib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya
Ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan
kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al – Bithruji berjudul Kitab al- Hai’ah,
dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al- Baqa’ al- Maskunah wa al- Ghair al-
Maskunah.
3.
Filsafatnya
a. Filsafat dan
Agama
Menurut Ibn Thufail, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan
merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Ia menganggap bahwa tidak
semua orang dapat sampai kepada wajib al-wujud dengan jalan berfilsafat,
dan tidak mungkin mereka mengetahui al-Haq karena keterbatasan akal
mereka. Dalam hal ini dibutuhkan penolong, yakni dengan adanya nubuwwah
yang berfungsi menjelaskan sesuai dengan kadar akal manusia. Dengan demikian,
benarlah jika al-Qur’an turun dengan berbagai variasi ayat, karena mukallafnya
heterogen dari segi kemampuan dan lainnya.
Lewat karyanya, Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Thufail berhasil
memaparkan bahwa akal dapat mengetahui kebenaran tertinggi, Allah, sama yang
digambarkan wahyu. Namun demikian, wahyu tetap dibutuhkan. Menurut Harun
Nasution, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterima kasih
kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara yang tepat untuk menyatakan terima kasih
tersebut. Dalam hal ini, peran wahyu selain memberikan bimbingan kepada akal,
juga sebagai petunjuk tentang cara-cara beribadah kepada-Nya, seperti shalat,
puasa, zakat, haji ke Baitullah, dan lain-lain.
b. Metafisika
Dalam romannya,
Ibn Thufail bahwa pengalaman hidup dan keseriusan menggunakan akal untuk
mengamati keadaan yang mengitari, akal merupakan jalan yang mengantar seseorang
mengetahui Tuhan. Bagi Thufail dalil adanya Alloh adalah gerak alam. Sesuatu
yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa penggerak yang berada di luar
alam, dan berbeda dengan yang digerakan. Penggerak itu dalah Alloh. Tentang zat
dan sifat Alloh, Ibn Thufail lebih cenderung mengikuti pendapat Mu’tazilah.
Alloh adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya,serta Maha
Bebas dalam segala kehendakan-Nya. Alloh adalah pemberi wujud kepada semua
makhluk. Tetapi, Ia tidak mungkin dirasai dan dikhayalkan, karena khayalan
hanya mungkin mengenai hal- hal inderawi.
Ibn Thufail membagi sifat Alloh kepada dua
macam, yaitu sifat yang menentukan wujud zat Alloh. Sifat- sifat ini adalah
zat-Nya sendiri. Sifat- sifat yang menafikan hal kebendaan dari zat Alloh,
sehingga Alloh Maha Suci dari kaitan dengan kebendaan. Ibn Thufail berpendapat
bahwa Alloh menciptakan segala sesuatu karena ada guna dan manfaatnya. Alloh
juga mengetahui segala sesuatu yang dilangit dan dibumi, dan tidak satupun yang
luput dari ilmu-Nya yang Maha luas.
Menurut Ibn Thufail
alam dan Tuhan sama- sama kekal. Alam bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan,
dan sebagai penampakan diri dari esensi Tuhan. Karena itu, alam tidak akan hancur
( dalam arti lenyap) pada Hari Penentuan sebagaimana dipercayai kebanyakan
umat. Kehancuran alam berupa keberalihannya menjadi bentuk lain, dan bukannya
merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu
bentuk lain. Hal itu dimungkinkan karena sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan penampakan diri yang kekal.
c. Epistimologi
Menurut Ibn Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada objek
pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama ialah melalui wahyu, dan
jalan kedua adalah filsafat. Digambarkan bahwa ma’rifah melalui akal ditempuh
dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan,
klasifikasi, generalisasi, dan menyimpulkan. Jadi, ma’rifah merupakan sesuatu
yang dilatih mulai dari yang konkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dari yang
khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus-
menerus. Karena sifatnya yang demikian, maka ma’rifah jenis ini sesuatu yang
dilatih, berkembang, bertingkat, dan beragam.[1]
Karena pembentukan pengalaman dimulai lewat tanggapan alat indera. Ibn Thufail
juga menjelaskan proses fisisnya. Ada yang ditanggap oleh indera disampaikan ke
otak lewat jalur syaraf, kemudian otak mengolahnya dan mengembalikannya
keseluruh tubuh lewat jalur yang sama sebagai suatu persepsi. Ma’rifah melalui
agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya. Hasilnya
hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan.[2]
Jadi proses yang di lalui ma’rifah semacam ini tidak mengikuti deduksi/
induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.
d. Jiwa
Konsepsi Ibn Thufail tentang
jiwa sejaan dengan yang dikemukakan al-Farabi, yakni ada tiga kategori:
1.)
Jiwa
Fadhilah
Yakni jiwa yang
kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus menerus mengarahkan
perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa ini akan ditempatkan di surga.
2.)
Jiwa
Fasiqah
Yakni jiwa yang
kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka.
3.)
Jiwa
Jahiliyyah
Yakni jiwa yang
musnah karena tidak pernah menganal Allah sama sekali.
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterpkan
dalam hidup, yaitu:
1.)
Amaliah
yang menyerupai hewan.
2.)
Amaliah
yang menyerupai benda angkasa.
3.)
Amaliah
yang menyerupai al-wajib al-wujud.
Kadar penerapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan
seseorang untuk menyaksikan al-wajib al-wujud. Ibn Thufail mengajarkan
agar jiwa berhubungan (ittishal) atau secara terus menerus seak dari
kehidupan di dunia sampai kehidupan abadi. Manusia dapat berhubungan dan
menyaksikan Tuhannya tidak hanya dengan akalnya, tetapi juga melalui rohaninya.
PENUTUP
Nama lengkap adalah
Abu Bakar Muhammad ibn Abd al- Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-
Qaisyi. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada 506 H dan
meninggal di kota Marraqesh,Marokko pada 581 H. Sebagai seorang keturunan
Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar,
apalagi kecintaannya dengan buku- buku dan ilmu pengetahuan. Hal ini
mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang seperti kedokteran,
kesastraan, matematika, dan, filsafat.
Beliau berfilsafat
antara lain:
1.
Menurut
Ibnu Thufail filsafat dan agama adalah selaras.
2.
Menurut
Ibnu Thufail alam dan Tuhan sama- sama kekal.
3.
Menurut
Ibnu Thufail untuk sampai kepada ma’rifah ada dua jalan yaitu wahyu dan
filsafat.
4.
Menurut
Ibnu Thufail tentang jiwa yakni ada 3 kategori jiwa yaitu
-
Jiwa
Fadhilah
-
Jiwa
Fasiqah
-
Jiwa
Jahiliyah
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Supriyadi, Dedi. 2008. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka
Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar