A.
PENGERTIAN
NASIKH
Secara
etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu penghilang (izalah), pengganti (tabdil),pengubahan (tahwil),
dan pemindahan (naql).Sesuatu yang
menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memin-dahkan disebut nasikh. Sedangkan sesuatu yang
dihilangkan, digantikan, diubah, dan di- pindahkan disebut mansukh.1
Secara
termonologi, “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan
hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terputusnya subtansi hukum
itu sendiri.2
Ulama-ulama
mutaqaddimin bahkan memperluas arti
nasikh hingga mencakup:
1.
Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh
hukum yang ditetapkan kemudian.
2.
Pengecualian hukum yang bersifat umum
oleh hukum yang bersifat spesifik yang dating kemudian.
3.
Penjelasan susulan terhadap hukum yang
ambigius, dan
4.
Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian
guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum
terdahulu.3
B. DASAR-DASAR
PENETAPAN NASIKH dan MANSUKH
Manna’AL-Qaththan
menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus), dan ayat lain
dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga
dasar tersebut adalah:4
1.
Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql ash-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang berbunyi, kuntu
nahaitukum ‘an ziyarat al-qubur ala fa zuruha (aku dulu melarang kalian
untuk berziarah kubur), (sekarang) berziaralah.
______________________
1.
Quraish Shihab, membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung,
1992, hlm. 143, Jalaludin As-suyuti, Al-Itqan
fi’Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid II, 20; Muhammad ‘Abd
Al-Azhim Az-Zarqani, Manhil al-‘irfan,
Dar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid II, hlm.
71.
2.
Az-zarqani, op.cit.,
hlm. 72.
3.
Shihab, op, cit., hlm.
144-147.
4.
Al-Qaththan, op. cit.,
hlm. 234.
2.
Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.
Melalui studi sejarah, ayat mana yang
lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,
dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.
C. BENTUK dan JENIS NASIKH
dalam AL-QURAN
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam
Al-Quran dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Nasikh Sharih, yaitu
ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
Contoh ayat tentang perang (qital)
pada surat Al-Anfal (8): ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan
sepuluh kafir:

Artinya:
“Hai
Nabi, kabarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di antara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak meng-
erti.”
(Q.S.
Al-Anfal (8): 65)
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus
oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat
66 dalam surat yang sama:

Artinya:
“Sekarang Allah meringankan kamu dan
mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada di antara kamu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
kafir, dan jika di antara kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan
dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”
(Q.S.
Al-Anfal (8): 66)
2.
Nasikh
Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya,
maka ayat yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan
Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati dalam ayat
berikut ini:

Artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib- kerabatnya secara
makruf.”
(Q.s.
Al-Baqarah (2): 180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis Ia washiyyah li warits (tidak ada wasiat
bagi ahli waris).
3.
Nasikh
Kully, Yaitu penghapusan
hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contoh, ketentuan ‘iddah empat bulan
sepuluh hari pada surat Al-Baqarah
(2) ayat 2345) dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat
2406) dalam surat yang sama.
_______________________
5. Bunyi
ayatnya

Artinya:
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
(Q.S.
Al-Baqarah (2): 234)
6. Bunyi
ayatnya

Artinya:
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya akan tetapi, jika mereka
pindah sendiri maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah
Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.
(Q.S.
Al-Baqarah (2): 240)
4.
Nasikh Juz’iy, yaitu penghapusan hukum umum yang
berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang
muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 47) dihapus oleh
ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh
pada ayat 68) dalam surat yang sama.
______________________
7.
Bunyi ayatnya

Artinya:
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik berbuat zina dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.”
8.
Bunyi ayatnya

Artinya:
“Dan
orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orsng itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar.”
(Q.S.
An-Nur (24): 6)
Dilihat
dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam, yaitu:9
1.
Penghapusan terhadap hukum dan bacaan
secara bersamaan.
Misalnya
dalam sebuah riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadis Asiyah r.a yang
mengatakan bahwa dianggap saudara apabila salah seorang di antara keduanya
menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan.
Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di nasikh menjadi lima isapan. Ayat
tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini
tidak termakub di dalam mushaf karena baik bacaannya maupan hukumnya telah di
nasikh.
2.
Penghapusan terhadap hukumnya saja,
sedangkan bacaannya tetap ada.
Misalnya
ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin pada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah,
telah di hapus oleh ketentuan ayat qital
(peperangan).
3.
Penghapusan terhadap bacaan saja,
sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Misalnya
di ambil dari ayat rajam,ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya sementara hukumnya
tetap berlaku seperti pada cerita tentang ayat yg orang tua berzina.
Adapun
sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi
nasikh ke dalam empat macam:10
1.
Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran.
Nasikh
seperti ini para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.
Nasikh Al-Quran dengan As-Sunah.
Bagi
kalangan ulama Hanafiyah, nasikh
semacam ini diperkenakan bila sunah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashyur. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku apabila sunah
yang menghapus nya berupa sunah ahad.
Bila kedua jenis sunah di atas berstatus qhath’I
tsubut, sebagaimana Al-Quran, maka hal itu berbeda dengan sunah ahad yang bersifat zhanny tsubut.
Sedangkan
menurut Asy-Syafi’I “sunah tidak
sederajat dengan Al-Quran.” Padahal nasikh
yang dijanjikan tuhan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 106
adalah
yang sepadan derajatnya atau bahkan lebih tinggi.
3.
Nasikh As-Sunah dengan Al-Quran.
Menurut
mayoritas ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi. Contoh
penghapusan kiblat shalat ke Bait
Al-Muqaddas menjadi ke Ka’bah.
4.
Nasikh As-Sunah dengan As-Sunah.
Bagi
Al-Qaththan pada dasarnya ketentuan nasikh
dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenakan.
D. RUKUN DAN SYARAT NASIKH
-
Adanya mansukh (ayat yang dihapus)
dengan syarat bahwa hukum yang di hapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat
‘amalia tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
-
Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan
untuk menghapus).
-
Adanya nasikh (yang berhak menghapus).
-
Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang di
hapus itu ialah orang-orang yang sudah akil-baligh/mukallaf).11
E. HIKMAH KEBERADAAN NASIKH
Menurut Manna’Al-Qaththan, ada empat hikmah
keberadaan ketentuan nasikh,yaitu:12
1.
Menjaga kemaslahatan hamba.
2.
Mengembangkan pensyariatan hukum sampai
pada tingkat
kesempurnaan, seiring perkembangan dakwah dan
kondisi manusia itu sendiri.
3.
Menguji kualitas keimanan mukallaf
dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat.
_____________________
9.
As-Syuthi, op. cit,
jilid II, hlm. 22; As-Shabuni, op. cit, hlm. 03; Al-Qaththan, op. cit. hlm
238-239.
10.
Al-Qaththan, op cit
hlm. 236-237.
11.
Muhhamad bakar ismail,
Dirasat fi’ulum al-quran (kairo, Dar al-manar, 1991). h.283-284.
12.
Al-Qaththan, op cit,
hlm. 240.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Usman, M.Ag. 2009. Ulumul
Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Drs. Anwar Rosihon, M.Ag.2000.
Ulumul Qur’an.Bandung: Cv Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar