A. PENGERTIAN HADITS SHAHIH DAN HADITS HASAN
1. Pengertian Hadist Shahih
Kata shahih berasal dari
bahasa Arab As-shahih. Bentuk pluralnya Ashihha’ dan berakar kata pada shahha. Dari segi bahasa, kata ini
memiliki beberapa arti diantaranya:
a. Selamat dari penyakit.
b. Bebas dari aib/ cacat. Sedang pengertian
hadits adalah khabar (berita).
Dari segi istilah, para ulama berpendapat bahwa hadits
shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi muhammad),
diriwayatkan oleh (periwayatan) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad,
(didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (illat).
2. Pengertian Hadits Hasan
Hasan, menurut lughat adalah sifat musybahah dari
`al-husna`, yang artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah khabar ahad yang
dinukilkan oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Untuk membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan,
kita harus mengetahui batasan dari kedua hadits tersebut. Batasannya adalah keadilan
pada hadits hasan disandang oleh orang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan
pada hadits shahih terdapat pada rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya.
Akan tetapi keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit.[1]
B. SYARAT-SYARAT HADITS MAQBUL
Dalam bahasa kata maqbul
artinya diterima. Hadits itu dapat diterima sebagai hujjah dalam islam, karena
sudah memenuhi beberapa kriteria persyaratan baik yang menyangkut sanad ataupun
matan. Adapun menurut istilah hadits maqbul adalah hadits yang unggul dan
pembenaran-pembenarannya.[2]
Syarat-syarat hadits
maqbul:
1. Sanadnya yang tersambung.
2. Diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dhabit.
3. Dari segi matan yang tidak syadz dan tidak
terdapat illat.
C. KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH DAN HADITS HASAN
Kebanyakan ulama ahli
hadits dan fuquha bersepakat untuk menggunakan hadits shahih dan hasan sebagai
hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat
digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima, pendapat
terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab sifat-sifat yang dapat
diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Hadits yang memiliki sifat
dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah shahih, sedangkan hadits yang
sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits yang
mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbul, dan hadits
yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadis mardud.
Yang termasuk maqbul
adalah:
1. Hadits shahih, baik shahih li dzatihi
maupun shahih li qhairih.
2. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun
hasan li qhairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala
macam hadits dhaif. Hadits mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena
terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.[3]
D. PENGERTIAN ASAHHUL ASANID DAN ASAHHUS SYAI`FI
AL-BAB
Dalam kitab-kitab hadits
sering kita jumpai berbagai istilah yang ada kaitannya dengan hadits shahih,
semisal:
1. Hadits isnadhu shahits = hadits sanadnya
shahih, atau
Hadits bi isnad shahih = hadits dengan sanad shahih, atau
Hadits shahih al-isnad = hadits shahih sanadnya.
Istilah
tersebut untuk menyebut bahwa sanad hadits dimaksud adalah terpercaya,
kepercayaan atau sah. Betapapun nilai sebuah hadits ditentukan oleh nilai
sanadnya, sebagaimana dinyatakan oleh al-suyuthiy. Namun seperti diketahui
bahwa keshahihan sanad bukanlah indikasi keshahihan matan. Dalam istilah “
hadits shahih sanadnya, atau hadits dengan sanad yang shahih”. Terselip
pengertian bahwa yang shahih baru sanadnya, akan halnya matan matan perlu
penelitian lebih lanjut. Dengan demikian hadits dengan predikat seperti
tersebut diatas, tidak jarang kita temukan justru matannya berlawanan.
Sehubungan dengan hal tersebut istilah “hadits sanadnya shahih atau hadits dengan sanad yang shahih”. Berada
setingkat lebih rendah jika dibanding dengan hadits yang di tunjuk dengan
sebutan “hadits shahih”, sebab istilah yang terakhir ini jelas-jelas menunjukan
bahwa hadits dimaksud adalah shahih baik sanad maupun matannya.
2. Ashahhh sya`in fi hadza al-bab = yang
paling shahih / sah pada bab ini, atau ashahh syai`n fi al-bab hadza yang
paling shahih / sah pada bab ini, atau al- ashahh fi hadza al-bab hadza
al-hadits = yang paling shahih pada bab ini adalah hadits ini...., ashahh
al-riwayat fi hadza, hadits...., = riwayat yang paling shahih pada bab ini
ialah hadits....,.[4]
E. SUMBER-SUMBER YANG MEMUAT HADITS SHAHIH
DAN HADITS HASAN
1) Sumber-sumber hadits shahih:
a. Al- Muwaththa.
b. Al- Jami` As-Shahih Al- Bukhari.
c. Shahih Muslim.
d. Shahih Ibn Hibban.[5]
2) Sumber-sumber hadits hasan:
a. Al- Jami karya At-Turmudzi.
b. As- Sunsn karya Imam Abu Dawud (202-273).
c. Al- Mustaba karya Imam An- Nasa`I.
d. Sunan Al- Mushthafa karya Ibn Majah.
e. Musnad Ahmad Ibn Hanbal Dan Al Musnad
karya Abu Ya`La.[6]
KESIMPULAN
Dari uraian materi yang dituliskan dalam
makalah ini, dapat kami simpulkan :
·
Hadits
shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, rangkaian sanadnya jelas, tidak
cacat dalam matan maupun sanadnya dan tidak ada kejanggalan dalam matan maupun
sanadnya.
·
Hadits
hasan adalah hampir sama dengan shahih tetapi ada perbedaannya yaitu dalam
penukilannya, hadits ini dinukilkan oleh orang yang kurang kuat hafalannya.
·
Syarat
hadits maqbul adalah hadits yang sanadnya bersambung, rangkaian sanadnya jelas,
tidak cacat dalam matan maupun sanadnya dan tidak ada kejanggalan dalam matan
maupun sanadnya.
·
Kehujjahan
hadits shahih dan hadits hasan adalah bahwa para ulama ahli hadits setuju
dengan hadits shahih dan hadits hasan dijadikan hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Dailami. 2004. Hadits. Purwokerto:
CV.Mardathika.
Majid khon,abdul. 2009. Ulumul hadits.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Solahudin,agus. 2009. Ulumul hadits.
Bandung: Pustaka Setia.
Suryadilaga,alfatih dkk. 2010.
Ulumul hadits. Yogyakarta: Teras.
[1]
Agus Solahudin. Ulumul hadits.
Bandung: pustaka setia. 2009. Hlm 147-146.
[2]
Abdul majid khon. Ulumul hadits.
Jakarta: sinar grafika offset. 2009. Hlm 148.
[3]
Agus Solahudin. Ulumul hadits.
Bandung: pustaka setia. 2009. Hlm:147.
[4]
Dailami. Hadits. Purwokerto:
CV. Mardhatika. 2004. Hlm: 345-352.
[5] Alfatih suryadilaga,dkk. Ulumul
hadits. Yogyakarta: teras. 2010 hlm: 248-249.
[6] Alfatih suryadilaga,dkk. Ulumul
hadits. Yogyakarta: teras. 2010 hlm: 266-268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar