Dilema
Penegakan Hukum di Indonesia
Reformasi
yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah
perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak
kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya
paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi
peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan
peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap. Memang benar
bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong ke arah reformasi
sebagaimana tuntutan masyarakat. Banyak pula lembaga yang memiliki peran untuk
memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi
Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.
Ekspektasi
masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan
lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali
tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka
koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya.
Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya
hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta
hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka
pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan
ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi -- adalah deretan pertanyaan
publik yang belum ada akhirnya.
Lembaga
peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan
arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat
perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana seharusnya
agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi dilakukan?
Seiring
dengan tuntutan reformasi yang seharusnya menjadi tuntutan paling penting
adalah reformasi di bidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia
dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam
rangka memberantas korupsi yang terlihat pada TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TAP
MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada
dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang
diarahkan untuk penegakan hukum.
Harus
diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum
menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak
hanya merugikan keuangan negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi
manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan
sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra
Ordinary Crime) -- penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar
biasa dalam bingkai due process of law,
tidak dilakukan dengan cara konvensional.
Pemberantasan
korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan
tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang
kekuasaan negara (eksekeutif, legislatife
dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat
dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan “Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt
absolutely”.
Dengan adanya instrumen hukum yang sudah memadai saat ini,
mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya
sangat tergantung pada political will.
Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan
penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian.
Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak
saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu
setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas
korupsi. Ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak
boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi.
Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar