IMPLEMENTASI KAJIAN EKONOMI ISLAM
DI INDONESIA MENUJU ISLAM KAFFAH
Rofik Andi H (1123303030) – Mahasiswa
PGMI-A Semester 3
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang
komprehensif dan sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Nabi
Muhammad SAW menyebutkan bahwa ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam
berbagai hadits beliau juga
menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan
umat Islam untuk menguasai perdagangan.
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada
ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas
konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah,
murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i
salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih,
terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar
(luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi
Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di
masa lampau. Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu
sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam
tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi
Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan (stagnasi ).
Dampak selanjutnya, umat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang
ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan
dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak
abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah
umat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep
dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran umat Islam. Maka sebagai
konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada umat
Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal
pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi
syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana
terdapat dalam firman Allah dalam Al-Quran.
Firman
Allah tersebut terdapat dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4’n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka
ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Dari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran
ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus
mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar ke-Islaman kita menjadi kaffah,
tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki
Islam secara kaffah ( menyeluruh ).
Firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208:
“ Hai orang – orang yang beriman, masuklah
kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan,
sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok
kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah,
kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam
bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran
ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam,
seperti ONH atau tabungannya, uang masjid, uang Perguruan Tinggi Islam,
dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat
Islam secara luas, telah diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan
lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru
umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam
tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para
ahli ekonomi syari’ah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai
dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syari’ah, maka sejak
tahun 1975 didirikanlah Internasional
Development Bank di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri-
negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga-lembaga keuangan syari’ah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga
keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 negara, baik di Eropa, Amerika,
Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan asset-aset bank mencatat
jumlah fantastis 15% setahun. Kinerja bank-bank Islam cukup tangguh
dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank
terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syari’ah dan menurut laporan
keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syari’ah.
Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di
Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga
tersebut telah membuka unit-unit syari’ah.
Di Indonesia sendiri, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank
Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain
tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR
Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank
konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang
berakibat pada likuidas, kecuali bank Islam.
Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan
pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau
tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari
pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan
uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak
kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk
membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran
kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran
pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah.
Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam
undang-undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-undang
tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi
kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun
konversi secara total ke sistem syari`ah.
Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional.
Beberapa bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara
lain bank Syari’ah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syari’ah, BRI
Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank
Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syari’ah, 25 Asuransi
Syari’ah, Pasar Modal Syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi
Syari’ah).
Pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syari’ah,
umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi
pada masa kini, di mana lembaga keuangan syari’ah telah berkembang, maka alasan
darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga-lembaga
keuangan syari’ah yang bebas riba..
Mengamalkan ekonomi syari’ah jelas mendatangkan manfaat yang
besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas
seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat
Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum
kaffah, sebab ajaran ekonomi syari’ah diabaikannya. Kedua, menerapkan
dan mengamalkan ekonomi syari’ah melalui bank syari’ah, asuransi syari’ah,
reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan
duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil,
keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain
itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syari’ah, mendapatkan pahala,
karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek
ekonominya berdasarkan syari’ah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan
syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syari’ah melalui
lembaga bank syari’ah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga
ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syari’ah dengan
membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti
mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana
yang terkumpul di lembaga keuangan syari’ah itu dapat digunakan umat
Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam,
mengamalkan ekonomi syari’ah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi
munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk
usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syari’ah tidak akan mau membiayai
usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha
narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang
bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar